Dendam Kesumat kepada Sekulerisme
Ia memperkenalkan diri dengan nama Khaidir. Nama seorang traveler, batin saya. Di selar Masjid kami terlibat pembicaraan menarik. Awalanya ia bertanya tentang rute mana saja yang bisa dijelajahinya terkait agendanya mengumpulkan data untuk tesis. Ia sudah riset sebelumnya. Tapi siapa tau setelah bertemu saya, setidaknya dia dapat info tambahan.
Setelah itu giliran saya bertanya. Tentu saja tak luput pertanyaan tentang Champa. Tentang kerajaan Islam besar di Vietnam. Tapi sayang, Khaidir ternyata tak dapat cerita banyak tentang Champa. Tak banyak dokumen yang didapat tentang Champa.
Why? Saya penasaran. Kenapa bisa begitu? Apa karena sejarah Islam yang ada di tanah ini ditenggalamkan oleh kolonial Perancis? Khaidir pun tak berani memastikan. Sebab ia tak punya data tentang itu. Maklum mahasiswa, semuanya harus base on data. Kalau datanya tidak ada, ya tidak ada yang bisa diceritakan.
Tak lama kami bercakap-cakap, ada orang lain yang ikut gabung. Kalau tak salah mereka berlima. Katanya dari DPR RI. Sedang studi banding. Salah satu di antara bapak bapak ini tertarik dengan pembicaraan saya dan Khaidir.
Karena ada bapak-bapak politikus, sekalian saja saya arahkan pembicaraan ke soal politik. Politik Islam khususnya. Metodenya tentu saja bertanya kepada narasumber. Khaidir. Saya tanyakan apakah tesis yang sedang dikerjakan oleh Khaidir saat ini ada kaitannya dengan politik Islam di Asia Tenggara. Ia menggeleng.
Kalau bukan politik, terus tentang apa?
Ya, tentang persebaran Islam di Asia Tenggara, jawabnya. Mulai dari sejarahnya, dimana mereka mukim, bagaimana perkembangannya sampai hari ini.
Mungkin karena saya begitu bersemangat sekaligus sedikit kecewa sebab belum mendapatkan cerita tentang kerajaan Champa, maka saya angkat bicara. Ya, persebaran Islam di sini itu tak bisa dilepaskan dari aktivitas politik. Asumsi bahwa Islam tersebar dari jalur perdagangan saja, harus dikoreksi. Ada peran politik para Sultan atau bahkan khalifah sehingga Islam bisa tersebar hingga seluruh dunia termasuk Asia Tenggara, termasuk Vietnam, termasuk Saigon sini.
Tapi tak banyak data tentang itu.
Tak banyak bukan berarti tak ada. Atau jangan-jangan kitanya saja yang tidak mau tau atau tidak boleh untuk tau.
Bapak dari DPR RI ikut nimbrung, cuma saya tak terlalu ingat dengan statemennya pada waktu itu. Yang pasti dia antusias. Begitu juga saya. Maka cerita pun mengalir. Tentang perjalanan Islam sejak Rasul, khulafaur Rasyidun, Umayah, Abbasiyah, hingga Utsmaniyah. Kemudian hancur oleh barat. Dan peradaban mulia tersebut berganti dengan sekulerisme.
Saya setuju dengan Khaidir bahwa kita tak bisa bicara banyak jika tak punya data. Tapi saya tetap menaruh kecurigaan yang kuat kenapa kita begitu sulitnya mengakses cerita sejarah Islam di Champa. Ya salah satunya karena kolonialisme Perancis. Mereka datang tak hanya karena kepentingan harta kekayaan. Menjarah negeri orang. Tetapi juga punya misi ideologis. Menjauhkan Islam dari masyarakat. Biarlah Islam berupa agama ritual semata. Tapi dalam tata aturan kehidupan tak boleh gunakan Islam. Sekulerisme.
Tapi tentu saja kami tak sepanjang hari menghabiskan waktu di Masjid Dong Du. Para Anggota Dewan harus kembali bertugas. Khaidir harus kembali melanjutkan risetnya. Saya kembali melanjutkan perjalanan.
Sholat Ashar saya sudah harus sampai di Masji Al Rahim. Di sana saya bikin janji dengan seorang Muslim asli Vietnam yang saya kontak via facebook. Siapa tau saja ada titik terang tentang Champa, nanti ketika sampai di Masjid Al Rahim.
Cuaca di Saigon panas. Dada saya juga panas. Menyimpan dendam yang begitu kesumat terhadap sekulerisme. Sampai jumpa di Masjid Al Rahim
Salam
Pay Jarot Sujarwo
Ig: @payjarotsujarwo
fb: Pay Jarot Sujarwo
www.payjarotsujarwo.com
Sila join di channel telegram
t.me/payjarot
Posting Komentar untuk "Dendam Kesumat kepada Sekulerisme"