Sanggar
The Journey of Being a Writer (5)
Tentu saja, meskipun penting, tetapi menunggu puisi terbit
di media cetak bukan prioritas. Ada hal yang lebih penting yakni dapat kampus. Soalnya
diskusi dengan bapak via wartel cukup alot kala itu. Bapak ingin saya pulang
saja ke Pontianak. Saya ingin tetap tinggal di Jogja. Bapak tak kuasa
berargumen, saya menang.
Seorang teman SMA, di antara banyak teman yang lain, ada
juga yang belum dapat kampus. Namanya Hanif. Dia punya saudara di Jogja yang
bisa pinjamkan sepeda motor. Akhirnya kami berdua berkeliling mencari brosur
kampus yang masih buka.
Singkat cerita, saya lulus di Universitas Sarjanawiyata Tamansiswa,
Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan, Jurusan Bahasa dan Seni, Program Studi
Bahasa Indonesia. Sebuah kampus yang sama sekali tidak masuk dalam perencanaan.
Tapi tak mengapa, pikir saya waktu itu, tahun depan bisa daftar lagi UMPTN agar
bisa masuk Fakultas Sastra atau bisa masuk ISI.
Rencana tahun depan daftar lagi pun tak terwujud, sebab baru
saja beberapa minggu kuliah, seorang teman sekelas mengajakku untuk ikut
workshop teater yang diselenggarakan salah satu UKM di kampus. Teman sekelasku
ini tau informasinya disaat mengikuti OSPEK. Wah seru kayaknya ini. Workshop
teater. Dulu waktu SMA saya pernah nonton sinetron Ali Topan Anak Jalanan yang
diperankan Ari Sihasale. Meski tidak menggebu-gebu, tapi ada terbersit niat
ingin jadi aktor biar bisa kayak Ali Topan.
Sanggar dan Komunitas. Ini dua kata yang kukenal setelah mengikuti
workshop. Komunitas karena kami memang berkelompok serupa organisme dan saling
berinteraksi. Kerap pula tempat kami berinteraksi itu disebut sanggar, karena
aktivitas yang kami lakukan mengerucut pada satu hal, kesenian. Nama formalnya
Kelompok Sastra Pendapa (KSP), orang-orang lebih suka menyebutnya Sanggar KSP.
Saya merasa perlu mencantumkan nama ini, sebab memang di
sinilah kemudian saya pada akhirnya pertama kali berkenalan dengan proses
kreatif kesenian. Tak hanya membaca koran, tak hanya diomeli wali kelas, tak
hanya karena sinetron Ali Topan, tapi di sanggar ini saya betul-betul membaca
teks dan peristiwa, berinteraksi panjang dalam diskusi-diskusi mendalam menyoal
kesenian, hingga akhirnya lahirlah sesuatu yang kita kenal dengan sebutan
Karya.
Karena senior di Sanggar mempersilakan anak-anak baru untuk
tidur di sini, akhirnya saya memutuskan pindah dari asrama Kalbar. KSP angkatan
13. Saya masih ingat angka itu. Di sini mesin tik bapak punya jasa besar. Beberapa
anak baru, selain saya punya hobi yang sama, membaca dan menulis karya sastra.
Beberapa senior selain menjadi guru menulis, juga menjadi salah satu kompetitor
dalam menguasai mesin tik. Kami bergantian.
Jika sedang berkumpul, kami kerap dengar wejangan. Jika sendirian,
kami larut dalam banyaknya bacaan dan tulisan. Nanti ada lagi waktu berkumpul,
kami manfaatkan untuk mendiskusikan karya yang dihasilkan. Begitu terus
menerus. Kami juga latihan teater. Kami juga berkenalan dengan teman-teman
sanggar dari kampus lain. Kami berinteraksi. Kami khusuk masyuk dengan
soalan-soalan kesenian. Kami lupa kuliah. Atau dengan berbagai macam alasan,
mulai enggan kuliah. Alasan yang cukup populer, sanggar adalah universitas
kehidupan. Di kampus, dosennya diktator. Jual diktat beli motor. Ah, betapa
naifnya kami kala itu.
Hingga suatu hari, datang seorang sepuh. Pak Yatmin namanya.
Beliau membaca apa yang kami tulis. Kami mendiskusikannya. Lalu beliau bilang, “kirimkan
karya ini ke koran.”
Kalau dulu bu Nurjanah mengatakan itu tanpa analisa. Dia hanya
memberikan harapan kepada seorang remaja. Kali ini Pak Yatmin tak sekadar
memberi harapan, tapi juga ¾ keyakinan bahwa apa-apa yang kami tulis bakalan
terbit di koran-koran. Tulisan yang sudah mulai matang bagi anak delapanbelas
tahunan.
Kami berebut mesin tik. Satu karya selesai diketik rapi. Dua
karya selesai diketik rapi. Tiga karya selesai diketik rapi. Dilipat tiga. Dimasukan
dalam amplop. Dikirim ke koran. Ada tiga koran ternama di Jogja yang memuat
karya sastra pada waktu itu. Bernas, Keudalatan Rakyat, dan Minggu Pagi.
Kepada Redaktur Sastra Harian bla bla bla. Satu minggu
ditunggu, tidak terbit. Dua minggu ditunggu, tidak terbit. Tiga minggu
ditunggu, tidak terbit. Empat minggu ditunggu, tidak terbit.
Posting Komentar untuk "Sanggar"