Kirim Karya ke Koran
The Journey of Being a Writer (4)
Ini adalah cerita bagaimana mengirimkan karya tulis ke media
cetak. Sesuatu yang barangkali tidak terlalu populer bagi penulis-penulis
kekinian, tetapi begitu berharga bagi siapa saja, generasi sebelum kekinian. Termasuk
saya.
Setelah beberapa pekan saya menumpang di indekos kerabat
bapak di wilayah jalan Kaliurang, saya harus pindah. Ya pindah karena status
saya hanya menumpang. Saya harus mencari tempat tinggal sesungguhnya. Proses pendaftaran
kuliah sudah beres. Namanya waktu itu UMPTN. Gagal. Atau tidak diterima di tiga
kampus negeri yang saya daftar. Cerita tentang ini ada saya tulis di buku saya
berjudul RUTE: catatan tentang kembara.
Karena tidak lulus kampus negeri di Jogja, Bapak menyuruh
saya pulang. Tapi saya enggan. Sudah pergi jauh-jauh menyeberang lautan dengan
ombak garang yang potensial membuat isi perut pada keluar, masak harus pulang
gara-gara tidak lulus di kampus negeri.
Waktu itu, saya sudah jumpa beberapa kawan SMA. Sebagian di
antara mereka sudah ada yang dapat kampus. Sebagian yang lain belum. Tapi dari
kawan-kawan ini saya dapat informasi tentang asrama Kalimantan Barat, di Jalan
Bintaran. Sendirian, saya datangi Asrama tersebut, bertemu dengan pengurusnya,
memohon agar saya bisa tinggal di situ. Gagal. Katanya asrama sudah penuh. Tidak
mungkin dipaksakan lagi dengan orang baru.
“Terus saya harus tinggal dimana?” Ini bukan keluhan, tapi
harapan.
Kakak senior asrama, yang saya lupa siapa namanya, kemudian
mengabulkan harapan itu. Setidaknya memberi harapan baru. Katanya, di Jalan
Bintaran ini adalah Asrama Kalbar I, ada juga Asrama Kalbar II, di Jalan
Bausasran. Coba saja ke sana. Saya tak tau arah. Akhirnya saya diantar oleh
warga asrama yang lain menuju Asrama Bausasran. Sampai di sana, sudah penuh
juga. Tak ada kamar lagi bagi saya.
Tujuan selanjutnya adalah Asrama ke III. Terkenal dengan
sebutan Asrama Pingit, tepatnya di kampung Badran. Kampung tempat para gali
mendekam. Di sini lagi-lagi tak tersedia kamar. Sudah penuh. Tapi, kata ketua
Asrama, untuk menumpang beberapa hari bisa disilakan tidur di sini, sebab ada
satu kakak senior asrama yang sedang pergi ke Bandung. Betapa bahagianya hati
ini.
Kebahagiaan lain adalah pertemuan saya dengan teman MTs di
Asrama ini. Busrani namanya. Saya merasa punya energi baru setelah beberapa
hari khawatir tak dapat tempat tinggal. Nanti, setelah kakak senior pulang dari
Bandung, saya memohon-mohon kepada ketua Asrama agar saya diperbolehkan tinggal
di sini, minimal hingga saya dapat kampus. Alhamdulillah diizinkan.
Di Asrama Pingit inilah saya bertemu dengan koran Republika,
Kompas, dan juga koran-koran lokal. Di Asrama Pingin inilah saya mulai rajin
membaca karya-karya sastra yang terbit di koran. Saya berjumpa dengan beberapa
nama yang sudah saya kenal ketika masih SMA. Saya juga berjumpa dengan beberapa
nama baru.
Waktu itu tahun 1999. Baru setahun pasca peristiwa aksi
mahasiswa menggulingkan kekuasaan Orde Baru. Karya-karya sastra yang terbit,
tak jarang berbicara tentang ini. Berbau kritik sosial, intrik politik, gerakan
masasiswa, juga penculikan mahasiswa. Saya merasa bergairah dengan membaca
karya-karya model begini.
“Mungkin ini yang dimaksud bu Nurjanah, ketika SMA dulu,”
kata saya dalam hati.
Semakin rajin saya membaca karya di koran-koran minggu itu,
semakin sering saya menulis karya berwarna serupa. Hingga akhirnya saya
memberanikan diri. Mesin tik bapak menjadi saksi. Diksi demi diksi berderet
beriringan dengan suara tik-tok mesin tik. Imaijinasi saya melambung-lambung. Saya
membayangkan peristiwa demonstrasi mahasiswa. Saya membayangkan suara senjata. Jadilah
puisi.
Selesai. Kertas HVS beberapa lembar yang sudah berisi
beberapa buah puisi saya lipat tiga. Masuk dalam amplop putih yang di sana juga
sudah tertulis alamat tujuan. Kepada Yth. Redaksi Sastra Republika, di Jakarta.
Naik bis jalur 12, turun di depan kantor pos ujung Malioboro. Beli perangko
seharga 1.500. Selesai. Lalu pulang dengan harapan yang sangat besar agar puisi
tersebut bisa terbit. Nanti kopiannya akan saya kirim ke bu Nurjanah jika
terbit.
Seminggu ditunggu, tidak terbit. Dua minggu ditunggu, tidak
terbit. Tiga minggu ditunggu tidak terbit. Sebulan ditunggu tidak terbit.
subhanallah
BalasHapusInspiratif bang
never give up
nunggu lanjutannya...
BalasHapusBikin gemes!
BalasHapusTerbitke ndak? ��
Ngape 30 Agustus malam. Ngetik komentar e ni 31 Agustus 2020, 10.57 WIB. 😣
HapusNantikan cerita berikutnya
HapusPay trbit k nd tu??pnasaran kame'neeee🤔
BalasHapusNantikan cerita berikutnya
Hapus