Jogja dan Mesin Tik Bapak
The Journey of Being a Writer (3)
Setamat SMA, saya ke Jogjakarta. Tak mudah untuk melakukan negoisasi dengan bapak tentang hal ini. Sebab bapak hanya pegawai negeri biasa yang tak diberikan kesempatan untuk melakukan aktivitas korupsi. Gajinya tak banyak. Tapi Alhamdulillah, setelah melakukan negosiasi yang alot, keinginan untuk berangkat ke Jogja terlaksana.
23 Juni 1999 menggunakan kapal laut KM Leuser jurusan Pontianak – Semarang.
Kenapa saya masih ingat tanggal keberangkatan itu? Karena tercatat dalam buku
harian. Masa-masa lulus SMA adalah era dimana saya getol menulis catatan
harian. Sebagian buku harian itu saya bawa ke Jogja. Apa gunanya? Saya pribadi
tak begitu paham apa gunanya membawa buku harian banyak-banyak ke Jogja. Bikin penuh
tas saja. Toh isinya gitu-gitu doang. Tapi saya tidak menyesal. Sebab nanti,
ketika sudah dapat kampus, sudah bergabung dalam komunitas sastra, saya sangat
berterima kasih kepada tumpukan buku harian saya tersebut. Bagian ini akan saya
ceritakan nanti. Sekarang mari kita lanjutkan kisah datang ke Jogja untuk
pertama kalinya.
Bapak punya
saudara yang kuliah S2 di UGM. Beliau nge-kost di jalan Kaliurang. Sebelum
berangkat ke Jogja, saya sempat melakukan surat menyurat terhadap beberapa
kawan yang telah berangkat lebih dahulu. MasyaAllah, meski belum ada telepon
genggam, tapi ternyata tak mudah berkumpul dengan teman-teman SMA di tanah
rantau. Informasinya dari mulut ke mulut. Juga dari alamat yang pernah ditulis
dalam surat.
Singkat cerita,
setelah beberapa saat menumpang di kost saudara di jalan Kaliurang, akhirnya
saya mendapat tempat tinggal tetap. Tidak tetap sebenarnya. Tetapi setidaknya
dapat menampung saya untuk beberapa saat. Tempat itu bernama Asrama Mahasiswa
Rahadi Osman, tempat anak-anak Kalbar berkumpul dan berinteraksi.
Di asrama,
kami langganan media cetak. Kompas, Republika, Media Indonesia, Kedaulatan
Rakyat. Selain itu kami juga dikirimi oleh pemda Kalimantan Barat Koran lokal
secara berkala, seperti Pontianak Post dan Equator. Di Koran-koran inilah, pada
hari minggu, saya menemukan puisi-puisi dan cerpen-cerpen yang pernah
diceritakan oleh bu Nurjanah dulu. Saya masih awam terhadap kesusastraan Indonesia,
tapi saya mengetahui bahwa selain majalah Horison yang terbitnya bulanan, kita
juga ada peluang untuk mengirimkan karya-karya sastra ke koran-koran yang
terbitnya mingguan.
Bu
Nurjanah, jasamu takkan ku lupa.
Oh iya, hampir
lupa saya menceritakan salah satu bagian penting dalam proses kepenulisan yang
saya alami. Yakni, mesin tik bapak. Saya sudah akrab dengan mesin tik milik
bapak sejak kecil. Mungkin sejak kelas tiga atau empat SD. Atau bahkan sebelum
itu. Bapak saya, karena tak terlalu punya kesempatan untuk korupsi, maklum
pegawai rendahan, akhirnya harus mengeluarkan kreativitasnya agar mampu
bertahan hidup di tengah tuntutan zaman yang semakin menggila (bisa jadi ini
hiperbol, tapi bisa jadi ini nyata).
Kreativitas
yang dilakukan bapak adalah membuka jasa pembuatan skripsi. Oh God, ternyata
praktik jahat ini sudah berlangsung sejak dulu kala. Praktik yang memanjakan
mahasiswa. Praktik yang memalaskan mahasiswa. Praktik yang membuat bodoh
mahasiswa. Dan salah satu pelakunya adalah bapak saya (pasang emotikon sedih).
Tapi apalah daya saya. Hanya anak SD yang mengetahui bahwa bapaknya punya
banyak koleksi buku di rumah dan juga mengoleksi beberapa mesin tik. Dari situ,
sejak kelas tiga SD saya sudah mahir menggunakan mesin tik. Terima kasih bapak.
Jasamu takkan kulupa. Soal dosamu membuatkan skripsi para mahasiswa itu,
bertobatlah. Bertobatlah. Bertobatlah.
Nah, mesin
tik ini adalah salah satu senjata yang ikut saya bawa ketika ke berangkat ke
Jogja. Nanti, ketika saya hengkang dari Asrama Kalbar dan pindah ke sanggar
teater di kampus, mesin tik dan buku harian akan mengambil perannya
masing-masing, menjadi wasilah berharga dari lahirnya puisi-puisi dan
cerpen-cerpen yang tertulis nama saya di sana.
Langsung terbit
di koran? Belum. Semoga bisa saya ceritakan setelah ini.
Posting Komentar untuk "Jogja dan Mesin Tik Bapak"