Bu Nurjanah
The Journey of Being a Writer (2)
Karena ketika SD saya sudah disuguhi banyak bahan bacaan dan saya menyenanginya, kesenangan ini berlanjut ketika saya remaja. Membaca saya jadikan hobi. Tak hanya itu, pelan-pelan saya juga mulai menyenangi aktivitas menulis catatan harian. Ini aktivitas yang sudah saya mulai sejak kecil sebenarnya. Tapi ketika itu hanya sebatas bertukar biodata dengan teman sekelas. Atau menulis surat untuk sahabat pena yang entah berada di mana.
Nah, ketika remaja, keasikan saya membaca berdampak dengan
keasikan menulis. Ada banyak sekali buku harian saya yang isinya tak sekadar
soal curhat. Tapi pada tahap ini saya mulai mencoba meniru-niru tulisan dari
para penulis yang saya baca. Saya mulai suka berimajinasi kemudian
menuangkannya dalam catatan harian.
Waktu SD saya pernah juara lomba mengarang dan dikirim
hingga tingkat kabupaten. Kemampuan mengarang itu ketika remaja saya teruskan
dalam buku harian. Jadilah saya sebagai seorang penulis catatan harian.
Siapa yang membacanya? Tak ada. Ini benar-benar bersifat
personal. Tapi siapa menduga bahwa aktivitas personal ketika remaja ini menjadi
modal berharga ketika nantinya saya benar-benar terjun ke dalam dunia
kepenulisan. Apa modal berharga tersebut? Kebiasaan.
Ya, saya terbiasa menulis meski hanya catatan harian. Ya,
saya terbiasa menulis meski temanya hanya berkutat diperkara personal. Tapi apa
yang terjadi ketika saya menulis ke perkara lebih luas? Perkara publik. Ya saya
tetap terbiasa menulis. Jemari ini menjadi enteng menekan tuts mesin tik.
Jadi puisi. Jadi cerpen. Jadi uneg-uneg.
Waktu SMA, selain suka merokok di belakang kelas, selain
suka lompat pagar untuk bolos, saya juga suka berkunjung ke perpustakaan. Di situ
saya jumpa dengan Chairil Anwar juga Taufik Ismail. Saya jumpa majalah Horison.
Saya jumpa tulisan-tulisan yang membuat imajinasi saya meletup-letup. Imajinasi
itu harus mewujud dalam bentuk tulisan. Tulisan itu harus dibaca orang banyak,
sama seperti orang banyak membaca Chairil dan Taufik Ismail.
Maka jadilah selembar puisi. Dulu, mading sekolah menjadi
hak prerogatif anak-anak OSIS. Merekalah yang berhak memutuskan apakah tulisan
ini dan itu layak ditempel di mading. Tapi apa lacur, tak ada aktivitas
kepenulisan di mading itu. Yang ada hanya poster-poster pengumuman. Iklan-iklan
kegiatan ekskul. Mading apaan ini? Tak ada edukasi ke para siswa, jika ingin
menulis dan tulisannya ingin terbit di mading, silakan kirimkan tulisan
tersebut ke kakak-kakak OSIS. Tak ada. Akibatnya ya jangan salahkan kalau
anak-anaknya pada nongkrong di kebun belakang sekolah sambil merokok. Bukannya
menulis lalu mengirimkan tulisannya ke mading.
Maka saya memberanikan diri. Tidak melalui jalur formal
dengan mengirimkan tulisan ke kakak OSIS. Tetapi tanpa izin siapapun membuka
segel kaca di mading, lalu menempelkan puisi yang saya tulis. Puisi kotemporer.
Terinspirasi dari pelajaran bahasa Indonesia.
Apa yang terjadi setelah itu saudara pemirsa? Tak
membutuhkan waktu lama, puisi itu dibredel oleh kakak-kakak OSIS. Katanya
puisi-puisi itu tidak sesuai dengan norma-norma kesopanan. Penulis puisinya
dicari, sebab sudah bikin sekolah heboh. Tapi kakak OSIS tak berani bertemu
langsung dan mengajak penulisnya berkelahi. Mereka lebih memilih jalur formal
dengan mengadukan hal ini ke wali kelas sang penulis.
Sang penulis auto dipanggil. Disuruh menghadap. Ini adalah
wali kelas terkiller sejagad. Aroma kebengisannya sudah tercium semenjak hak
sepatunya menyentuh lantai secara konstan. Kalau dia masuk kelas, seketika huru
hara yang terjadi di dalam kelas berubah suasananya menjadi toto tentrem kerto
raharjo. Ibu Nurjanah namanya (cium tangan saya ke beliau).
Karena ini urusan Wali Kelas, bukan urusan guru BP, maka
lokasi persidangan berada di perpustakaan. Di sana habis-habisan saya diomeli. Itu
terjadi tahun 1998. Bayangkan, sudah berapa tahun peristiwa ini saya
rahasiakan. Saya hanya menunduk pasrah tak berdaya dengan dada penuh debar,
khawatir orang tua dipanggil. Sudah cukuplah orang tua dipanggil karena kasus
merokok dan lompat pagar. Jangan lagi kasus menulis puisi yang tidak sesuai
dengan norma. Akan coreng moreng lah wajah orang tua saya nanti.
Di akhir persidangan, bu Nurjanah berpesan. Katanya kurang
lebih begini, “Seharusnya tulisan seperti ini tidak ditempel di mading. Tetapi
dikirimkan ke media-media cetak. Kalau kamu suka menulis, lanjutkanlah hingga
kamu menjadi penulis profesional,” ujarnya.
Deg! Jantung saya serasa berhenti berdetak. Saya melihat
segaris senyum di bibir bu Nurjanah. Mustahil. Mustahil. Mustahil. Ketika
seantero sekolah (yang membaca mading) resah gelisah dan mencerca tulisan yang
saya buat, bu Nurjanah, di akhir pidatonya malah memberikan apresiasi yang tak
penah diduga sama sekali oleh saya. Benar-benar di luar dugaan. Sebagai seorang
Wali Kelas, Bu Nurjanah telah menjalankan tugasnya dengan benar yakni
mengomel-omeli saya. Sebagai pembaca karya sastra, Bu Nurjanah telah dengan
jujur mengungkapkan apresiasinya. Terharu saya. Sungguh terharu.
Fix, setelah peristiwa itu, tak ada yang mampu mengubah
cita-cita saya mejadi seorang penulis profesional.
(gambar hanya ilustrasi, nemu di internet)
Posting Komentar untuk "Bu Nurjanah"