Sudah Lama tidak Membaca Ernest Hemingway
Kemarin pagi aku mengunjungi kedai kopi yang kutemukan di sosial media. Seseorang menceritakannya di facebook, kutemukan mapnya di instagram. Meluncur. Untuk sebuah kedai kopi, tak terlalu istimewa. Ini adalah usaha anak-anak muda, ya si barista masih belia. Usaha ini ia jalankan bersama temannya ketika pulang dari Jogja. Di kota itu, ia belajar banyak tentang kopi.
Begitu kira-kira percakapan perkenalanku dengan barista. Yang menarik, salah seorang pengelola kedai kopi ini adalah penyuka sastra. Beberapa buku sastra ia pajang di ruang tamu. Bukan untuk dibaca para tamu. Tapi dibeli. Wait, ini buku-buku sastra klasik. Bukan klise. Siapa yang mau membelinya dikota ini. Harganya juga tidak murah.
Maaf, aku tidak bermakud underestimate dengan selera baca manusia Pontianak. Faktanya beberapa komunitas sastra lumayan bergeliat di sini. Tapi pemandangan pagi itu, disebuah kedai kopi, salah satu meja menghamparkan beraneka ragam buku “daging” semua.
Pramudya, Haruki Murakami, Tan Malaka, Chairil Anwar, Eka Kurniawan, Ernest Hemmingyway, George Orwell, Andrea Hirata, Tan Malaka, Mark Manson, dan buku-buku berkualitas lainnya, mejeng di situ. Kuabaikan sebentar, sebab aku penasaran dengan cerita di baliknya. Kenapa tema ini; kopi dan sastra yang mereka pilih?
Di 101 coffee house juga banyak buku. Mereka punya kopi dengan kualitas baik. Juga buku-buku yang tak kalah menarik. Tapi buku-buku yang dipajang sebagian besar bercerita kopi. Barista 101 memang punya semangat luar biasa mengedukasi tamu tentang kopi. Ya, kopi. Bukan sastra. Dulu di Kopi Bandar Premium, yang sekarang namanya sudah berganti menjadi @Nowadayscoffe, juga ada beberapa buku sastra. Tapi bukan untuk dijual, melainkan koleksi pribadi barista. Nantilah, kapan-kapan, semoga aku bisa melanjutkan percakapan dengan barista, tentang sastra.
Oh iya, pada percakapan kemarin pagi, aku menyebut nama Andi Ds. Si Barista menyebut nama Fase. Kami menjadi lebih cair, sebab kami berdua mengenal orang yang sama. Lebih cair lagi ketika kami berdua punya ikatan emosional yang sama dengan Jogjakarta. Memang, tak semudah itu bagiku untuk mengatakan bahwa sudah akrab dengan barista. Toh ini baru pertemuan pertama. Tapi, sebagai awal jumpa, aku sudah jatuh hati dengan tempat ini.
Percakapan kami terhenti, karena beberapa temanku datang. Kemudian aku menjauh dari bar, menuju ruang tamu. Bercengkrama dengan beberapa sahabat. Membikin rencana seperti yang biasa kami lakukan. Ya, rencana. Kami seperti bersindikat dalam rencana demi rencana. Rentjana Kopi
Pagi itu berakhir. Sebelum pulang, aku mengambil Ernest Hemmingway. Menuju Bar, lalu membayar. Kami bubar.
o0o0o0o0o0o few moment later o0o0o0o0o
Pagi ini, cerita kemarin pagi kutuliskan di sini. Di sebuah kedai kopi. Kopi Bos Pontianak
“Biar seperti Ernest,” ucapku dalam hati.
Begitu kira-kira percakapan perkenalanku dengan barista. Yang menarik, salah seorang pengelola kedai kopi ini adalah penyuka sastra. Beberapa buku sastra ia pajang di ruang tamu. Bukan untuk dibaca para tamu. Tapi dibeli. Wait, ini buku-buku sastra klasik. Bukan klise. Siapa yang mau membelinya dikota ini. Harganya juga tidak murah.
Maaf, aku tidak bermakud underestimate dengan selera baca manusia Pontianak. Faktanya beberapa komunitas sastra lumayan bergeliat di sini. Tapi pemandangan pagi itu, disebuah kedai kopi, salah satu meja menghamparkan beraneka ragam buku “daging” semua.
Pramudya, Haruki Murakami, Tan Malaka, Chairil Anwar, Eka Kurniawan, Ernest Hemmingyway, George Orwell, Andrea Hirata, Tan Malaka, Mark Manson, dan buku-buku berkualitas lainnya, mejeng di situ. Kuabaikan sebentar, sebab aku penasaran dengan cerita di baliknya. Kenapa tema ini; kopi dan sastra yang mereka pilih?
Di 101 coffee house juga banyak buku. Mereka punya kopi dengan kualitas baik. Juga buku-buku yang tak kalah menarik. Tapi buku-buku yang dipajang sebagian besar bercerita kopi. Barista 101 memang punya semangat luar biasa mengedukasi tamu tentang kopi. Ya, kopi. Bukan sastra. Dulu di Kopi Bandar Premium, yang sekarang namanya sudah berganti menjadi @Nowadayscoffe, juga ada beberapa buku sastra. Tapi bukan untuk dijual, melainkan koleksi pribadi barista. Nantilah, kapan-kapan, semoga aku bisa melanjutkan percakapan dengan barista, tentang sastra.
Oh iya, pada percakapan kemarin pagi, aku menyebut nama Andi Ds. Si Barista menyebut nama Fase. Kami menjadi lebih cair, sebab kami berdua mengenal orang yang sama. Lebih cair lagi ketika kami berdua punya ikatan emosional yang sama dengan Jogjakarta. Memang, tak semudah itu bagiku untuk mengatakan bahwa sudah akrab dengan barista. Toh ini baru pertemuan pertama. Tapi, sebagai awal jumpa, aku sudah jatuh hati dengan tempat ini.
Percakapan kami terhenti, karena beberapa temanku datang. Kemudian aku menjauh dari bar, menuju ruang tamu. Bercengkrama dengan beberapa sahabat. Membikin rencana seperti yang biasa kami lakukan. Ya, rencana. Kami seperti bersindikat dalam rencana demi rencana. Rentjana Kopi
Pagi itu berakhir. Sebelum pulang, aku mengambil Ernest Hemmingway. Menuju Bar, lalu membayar. Kami bubar.
o0o0o0o0o0o few moment later o0o0o0o0o
Pagi ini, cerita kemarin pagi kutuliskan di sini. Di sebuah kedai kopi. Kopi Bos Pontianak
“Biar seperti Ernest,” ucapku dalam hati.
Posting Komentar untuk "Sudah Lama tidak Membaca Ernest Hemingway"