Buku Perjalanan
Dulu, ketika saya bercerita tentang
rencana menerbitkan buku perjalanan, banyak orang yang kemudian menunggu-nunggu
terbitnya buku tersebut. Orang-orang ini punya ekspektasi besar tentang seperti
apa perjalanan yang saya lakukan. Pergi ke mana saja. Pemandangannya yang
indah. Kawasan yang sulit dijangkau. Pengalaman menggendong tas ransel di
pundak. Sepatu gunung. Tantangan
rintangan selama perjalanan. Bahkan ada yang berharap saya menulis “how to”.
Tips dan trik jalan-jalan murah. Panduan perjalanan di musim dingin. Dan
semacamnya.
Pada kesempatan ini saya ingin memohon
maaf sebab barangkali tak bisa memenuhi ekspektasi tersebut. Saya tak menulis
travel guide juga hal-hal lainnya seperti heroisme seorang traveler. Bisa jadi
karena memang saya tak ahli untuk menuliskan detil tentang guidance juga saya bukan seorang traveler yang heroik. Meski saya
memahami, buku-buku seperti ini adalah buku-buku yang paling banyak dicari.
Nanti lah ya, kapan-kapan, semoga saya ada bisa menulis buku ‘how to’ gaya
saya. Tapi saya tidak berjanji. Khawatir tidak terlaksana.
Lalu, ini buku soal apa? Saya sendiri tak
terlalu pandai menceritakan buku apa ini. Benar saya telah melakukan
perjalanan. Setamat SMA, saya melakukan perjalanan ke Jogjakarta. Waktu itu
saya kuliah di sana. Episode ketika saya di Jogja ini adalah episode seru dalam
proses hidup saya. Bertemu dengan berbagai macam pemikiran. Bergejolak.
Sungguh, sejak dulu saya ingin mencatatkannya. Alhamdulillah pada kesempatan
ini, keinginan itu bisa terwujud. Meski tentu saja tidak semua episode Jogja
bisa saya lampirkan di sini. Banyak juga yang tak saya ceritakan dan tak harus
saya ceritakan.
Lima tahun di Jogja, jejak kembara ini
berlanjut ke Jakarta. Tak terlalu lama di ibukota negara, tapi banyak hal yang
mampir dalam otak ini. Pemikiran saya acak kadut ketika di Jakarta. Ini lumrah.
Banyak orang sudah tahu karakteristik Jakarta yang kejam. Banyak orang yang
ketika berada di Jakarta seketika berubah menjadi orang-orang yang bengis dalam
mengejar keuntungan. Industri. Kapital. Baik sekadar untuk bertahan hidup atau
pun dalam rangka meraup kekayaan dan terus menyiksa orang kebanyakan. Jakarta
menjadi saksi bahwa pemikiran yang sudah lama dibangun di Jogja harus porak
poranda begitu saja di ibukota. Belakangan ini saya memahami masalahnya.
Pondasi yang tak kuat.
Tanpa pondasi yang kuat, saya pulang
kampung. Pontianak. Melewati episode demi episode dalam hidup. Bertemu banyak
orang. Bertemu banyak peristiwa. Bertemu banyak pelajaran. Juga kerap tak
mengambil pelajaran. Yang penting senang yang penting menang. Di Pontianak, hasrat
untuk berkelana muncul menggebu-gebu. Hingga pada suatu waktu, saya
berkesempatan untuk terbang begitu jauh, Bulgaria.
Saya merasa ada hal penting yang perlu
saya ceritakan selain sekadar tips and trik menjadi pengembara sejati. Pemikiran.
Pondasi. Sebab dalam tiap kembara kita akan bergesekan dengan pemikiran
berbeda. Sebab dalam tiap kembara kita akan berjumpa dengan hal asing yang
punya konsekuensi logis pada
perkembangan hidup mati kita ke depan. Pada titik ini kita perlu pondasi kokoh
untuk menopang pemikiran yang benar. Ah, saya jadi seperti mewejang. Tak layak
rasanya.
Begini saja biar lebih mudah. Kamu baca
saja buku ini. ada banyak kisah di sana. Siapa tahu saja kamu bertemu
kesalahan-kesalahan, lalu jangan segan untuk memberikan kritikan. Siapa tahu
saja setelah membaca buku ini kamu punya inspirasi untuk mengoreksi saya, untuk
menasehati saya, untuk membuat saya semakin termotivasi untuk tak henti
berjuang menuju kebangkitan.
Begitu kira-kira RUTE ini ditulis. Sekarang
ada di tangan kamu semua. Jika ada waktu, semoga kita bisa jumpa, barangkali
kita bisa jalan bersama, atau minimal menyicipi kopi bersama. Sungguh, saya
kenal barista yang seduhannya, membuat kita betah berlama-lama.
Jika memang buku ini membawa pesan kebaikan,
jangan pelit untuk menyebarkan pesan kebaikan ini kepada orang-oran lain.
Semoga Allah ridha dan berbuah pahala bagi kita semua. Aamiin.
Posting Komentar untuk "Buku Perjalanan"